Tempat Tanggal Lahir
-> Solo 07 November 1935
Agama -> Islam
Wafat -> 06 agustus 2009
Wafat -> 06 agustus 2009
Nama Istri -> Sunarti Suwandi, Bendoro Raden Ayu
Sitoresmi Prabuningrat, dan Ken Zuraida
Nama Anak -> Teddy Satya Nugraha,
Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, Klara Sinta, Yonas Salya,
Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, Rachel Saraswati, Isaias Sadewa dan Maryam
Supraba.
Riwayat Pendidikan
- TK (1942) - SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef kota Solo.
- Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada namun tidak menyelasaikan kuliahnya.
- Beasiswa American Academy of Dramatical Art (AADA), untuk belajar dalam bidang drama dan tari di Amerika. Di sana, Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard.
Penghargaan
- Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan kebudayaan , Yogyakarta (1954)
- Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
- Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
- Hadiah Akademi Jakarta (1975)
- Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
- Penghargaan Adam Malik (1989)
- The S.E.A. Write Award (1996)
- dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).
WS Rendra. Nama panjangnya Willibrordus Surendra Broto
Rendra ialah penyair tersohor yang kerap dijuluki sebagai "Burung
Merak". Sungguh beruntung Solo memiliki anak super seperti nya. Masa kecil
hingga remaja Rendra habiskan di kota kelahirannya itu. Bengkel Teater di
Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok wujud
kecintaan nya mengarungi dunia sastra. Semenjak masa kuliah Rendra sudah aktif
menulis cerpen dan esai di berbagai majalah. Ia anak dari pasangan R. Cyprianus
Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah, yang terlahir di Solo
07 November 1935. Rendra berayahkan
seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di
samping juga sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya berprofesi sebagai
penari serimpi di keraton Surakarta.
Rendra memulai debut pendidikannya dari TK ( 1942 ) hingga
menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA ( 1952 ), di sekolah Katolik, St.
Yosef di kota Solo. Setamat SMA Rendra pergi mencari peruntungan ke Jakarta
dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Sayangnya akademi tersebut
telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra,
Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti
ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam
bidang drama dan tari di Amerika atas beasiswa dari American Academy of
Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di
Universitas Harvard dari undangan pemerintah setempat.
Bakat sastra nya sudah mulai terlihat ketika ia duduk di
bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis
puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Hebat nya
lagi Ia juga piawai di atas panggung. Mementaskan beberapa dramanya, dan
terutama tampil sebagai pembaca puisi yang benar - benar berbakat. Tahun 1952
ialah debut awal mempublikasikan puisinya pada media massa melalui majalah
siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai
majalah, seperti puisi Kisah, konfrontasi, Seni, Basis, , dan Siasat Baru. Hal
itu terus berlanjut dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama
majalah tahun 60-an dan tahun 70-an. “Kaki Palsu” adalah drama pertamanya,
dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama
pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk
di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A.
Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II ( 1989 ), berpendapat bahwa
dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam
salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau
Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan
kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri,
tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya
- The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979),
- The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985),
- Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985),
- The First New York Festival Of the Arts (1988),
- Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989),
- World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992),
- dan Tokyo Festival (1995).
Baru
pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari
wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak:
Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara
Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat,
putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan
spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra
kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.
Ujung-ujungnya,
ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito
menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito
tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang
dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang
pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah
menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama
penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat
pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq
Ismail dan Ajip Rosidi.
Peristiwa
itu tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk
Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan
bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama
sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum
pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena
Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini:
kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah
tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya
dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih
dekat dari urat leher seseorang. Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua
istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar
popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu
seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta.
Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra
berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu,
julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia
mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel
Saraswati. Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan
mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa
dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama
sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti
tak lama kemudian.
Hidupnya
kemudian berlanjut hingga ia menghembuskan napas terakhir pada tanggal 06 agustus
2009 jam 22.10. Wafatnya rendra pada umur 75 tahun di rumah sakit mitra
keluarga Depok di akibatkan penyakit jantung koroner yang di deritanya. Burung
Merak pun terbang sudah ke kayangan.
-PUBLICinspire-
0 comments :
Post a Comment
Satu komentar anda akan di baca oleh banyak orang,dan dua komentar anda akan lebih banyak di baca pula. silahkan berkomentar